Tulisan
ini kutulis saat malam menunjukkan pukul 21.47 WIB dan tak sengaja terbersit
keinginan untuk menulis saat melihat sebuah tayangan film televisi di salah
satu stasiun televisi swasta nasional. Film televisi tersebut menceritakan
mengenai kehidupan keluarga dimana seorang anak merindukan sekali sosok Ayah
dalam kehidupannya, sosok Ayah yang selalu dibanggakan teman-teman sebayanya.
Sejak kecil ia tak pernah sekalipun melihat dan tahu siapa Ayahnya, apakah yang
disebut Ayah itu. Himgga suatu ketika saat ia belajar di sebuah sekolah dasar,
guru kelasnya memberikan sebuah tugas untuk membuat puisi tentang Ayah dengan
menempelkan foto Ayahnya, Saat itu pula ia penasaran siapakah Ayah itu? Sepertu
apakah Ayah itu? Siapa Ayah anak itu? Dan pada saatnya ia diberi kesempatan
untuk membacakan puisinya ia tak menulis apapun di lembar tugasnya, Sang guru
heran dan bertanya kepada anak itu “Kenapa tugas kamu masih kosong?” dan si
anak menjawab pertanyaan itu dengan suara paraunya yang menyayat hati “Saya
belum pernah melihat seperti apa Ayah itu, apa yang disebut Ayah dan bagaimana
wajah Ayah saya. Tapi saya bisa maju untuk membacakan puisi saya Ibu guru.”
Ibu
guru tersebut hanya terdiam dan terlihat mimik wajahnya yang berubah menjadi
iba mendengar jeritan hati anak muridnya yang masih sangat kecil untuk memahami
keadaan hidupnya. Anak itu pun dengan langkah yang santai berdiri di depan
kelas menghadap ke arah semua teman sekelasnya dan ia mulai membacakan puisi
yang ia buat otodidak saat itu juga tanpa naskah begini sepenggal uraian puisi
yang sedikit kuingat
Ayah....
Aku tidak pernah tahu apakah itu Ayah?
Aku tidak pernah tahu apakah itu Ayah?
Aku
tidak pernah tahu bagaimana wajah Ayahku?
Aku
tidak pernah tahu siapa Ayahku?
Aku
ingin sekali bertemu Ayah
Aku
ingin sekali melihat wajah Ayah
Aku
ingin sekali merasakan kasih sayang dari Ayah
Memang
rangkaian puisi diatas hanya puisi yang dibuat seorang anak kecil yang masih
duduk di sekolah dasar tetapi tahukah betapa dalamnya makna puisi yang sangat
sederhana itu. Sejenak aku terdiam ingin kutahan air mata yang sejak awal mulai
bergemuruh ingin sekali menetes. Tapi untuk yang satu ini aku sudah tidak bisa
membendung air mata yang pelan-pelan membasahi wajahku. Aku teringat almarhum
Ayahku yang sudah tiada 9 tahun yang lalu dan kini sudah tenang di sisi Allah
SWT. Tiap mendengar 4 huruf itu “AYAH” di fikiranku selalu berkecamuk
merindukan kembali sosok yang dulu sangat dekat denganku, sosok yang dulu
sering memarahiku karena kenakalanku, yang selalu membelaku didepan Ibu
meskipun aku sadar aku yang salah, yang selalu menuruti keinginan
“kanak-kanakku” yang harus dituruti, yang setia bersamaku untuk membuat
tersenyum, yang ikhlas bila orang lain menganggap aku adalah cucunya. Yah.....
memang aku anak bungsu dari lima bersaudara dan Ayahku memang mendambakan
sekali mempunyai anak laki-laki hingga lahirlah aku yang jarak usianya jauh
sekali dengan kakak-kakak tertuaku yang semuanya perempuan. Aku sadar mungkin
saat itu Ayah terlalu tua dengan rambutnya yang penuh dengan uban untuk
mempunyai anak seusiaku saat masih menginjak kelas satu sekolah dasar. Sehingga
banyak orang awam yang tidak mengerti mengira Ayahku adalah kakekku. Saat itu
aku tidak marah aku hanya terdiam melihat jawaban apa yang akan dilontarkan
Ayahku kepada siapa saja yang menganggapku seperti cucunya. Jika mengingat itu
jujur aku ingin menangis aku tahu saat itu Ayah pasti sedikit tersinggung tapi
Ayah tetap tegar dan santai menjawab sambil tersenyum kalau aku ini anaknya
yang bungsu sehingga banyak dari orang itu yang langsung meminta maaf. Kini
sudah tidak ada lagi sosok yang seharusnya sangat aku butuhkan saat ini, saat
usiaku mulai beranjak dewasa dan banyak sekali hal-hal dilingkunganku yang bisa
saja merubah jati diriku. Tapi aku sadar Tuhan mempunyai rencana lain untukku,
Tuhan ingin menguji seberapa besar keimanan dan ketakwaanku kepadaNya
menghadapi kenyataan hidup ini. Beruntung sekali aku mempunyai keluarga yang
sangat bersahaja, Ibu yang luar biasa, kakak-kakak perempuanku yang sangat
sayang, saudara dan teman-temanku yang sangat mencintaiku serta orang-orang
disekitarku yang memahamiku. Aku merasa beruntung memiliki mereka, mereka
adalah lentera hidupku andaikan tidak ada mereka semua, pasti yang kurasakan
hanyalah sepi dan sendiri menjalani hidup ini.
Dan
yang paling utama adalah Allah SWT yang menuntunku untuk terus istiqomah berada
dijalanNya alhamdulillah aku sangat bersyukur atas nikmat dan karunia yang
diberikanNya. Seharusnya anak laki-laki akan mendewasa didampingi oleh Ayahnya
, tapi aku sadar aku tidak bisa seperti itu aku sadar aku hanya memiliki Ibu
dan Ibu juga tidak tahu bagaimana yang dipikirkan anak laki-laki ketika mulai
beranjak dewasa. Karena Ibu adalah perempuan ia pasti mengerti ketika kakakku
mulai beranjak dewasa karena semuanya sama perempuan. Aku mendewasa karena aku
belajar melihat dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Aku berusaha
tegar dan belajar dari orang-orang disekitarku terutama meraka yang usianya
jauh lebih tua dari usiaku. Hingga kini aku beranjak mencapai usia 21 tahun aku
masih belajar menata kedewasaanku yang tidak pernah diajarkan oleh Ayahku, yang
aku pelajari sendiri dari bahasa alam disekitarku. Aku rindu sosok Ayah Ingin
sekali berbicara dengan Ayah berbincang hangat antara anak dan Ayah ,
perbincangan antara sesama laki-laki dewasa dan aku ingin belajar dari
pengalaman Ayah. Tapi sekali lagi aku tahu itu hanya fatamorgana aku tidak bisa
berbincang dengan Ayah kecuali lewat doa-doa yang pasti akan terus aku
panjatkan untuk beliau disana. Aku tahu aku sudah tidak punya Ayah lagi di
dunia ini tapi Ayah tetap selalu dihatiku menjagaku dan menguatkanku hingga
saat ini. Thanks for your love.... I love
you Dad, I always miss you.
Ayah dalam hening sepi kurindu
Untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban
(Ebiet G. Ade – Titip Rindu Untuk Ayah)
Tulisan ini aku buat bukan untuk mengambil
simpati orang lain, ini sengaja kubuat untuk mengobati kerinduanku kepada Ayah
dan kupersembahkan sebagai rasa baktiku untuk Ayahanda tercinta alm. Moh. Idris
....
Kota kelahiranku 21 tahun silam
Pasuruan, 25 November 2012
Muhammad Arif Taufiq
Artikel Terkait
Artikel ini ditulis oleh : Unknown ~ Blogger Pasuruan
Terimakasih sahabat telah membaca : Tulisan untuk Ayah. Anda bisa menyebarluaskan artikel ini, Asalkan meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar