Minggu, 06 Januari 2013

Tulisan untuk Ayah



Tulisan ini kutulis saat malam menunjukkan pukul 21.47 WIB dan tak sengaja terbersit keinginan untuk menulis saat melihat sebuah tayangan film televisi di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Film televisi tersebut menceritakan mengenai kehidupan keluarga dimana seorang anak merindukan sekali sosok Ayah dalam kehidupannya, sosok Ayah yang selalu dibanggakan teman-teman sebayanya. Sejak kecil ia tak pernah sekalipun melihat dan tahu siapa Ayahnya, apakah yang disebut Ayah itu. Himgga suatu ketika saat ia belajar di sebuah sekolah dasar, guru kelasnya memberikan sebuah tugas untuk membuat puisi tentang Ayah dengan menempelkan foto Ayahnya, Saat itu pula ia penasaran siapakah Ayah itu? Sepertu apakah Ayah itu? Siapa Ayah anak itu? Dan pada saatnya ia diberi kesempatan untuk membacakan puisinya ia tak menulis apapun di lembar tugasnya, Sang guru heran dan bertanya kepada anak itu “Kenapa tugas kamu masih kosong?” dan si anak menjawab pertanyaan itu dengan suara paraunya yang menyayat hati “Saya belum pernah melihat seperti apa Ayah itu, apa yang disebut Ayah dan bagaimana wajah Ayah saya. Tapi saya bisa maju untuk membacakan puisi saya Ibu guru.”
Ibu guru tersebut hanya terdiam dan terlihat mimik wajahnya yang berubah menjadi iba mendengar jeritan hati anak muridnya yang masih sangat kecil untuk memahami keadaan hidupnya. Anak itu pun dengan langkah yang santai berdiri di depan kelas menghadap ke arah semua teman sekelasnya dan ia mulai membacakan puisi yang ia buat otodidak saat itu juga tanpa naskah begini sepenggal uraian puisi yang sedikit kuingat

Ayah....
                Aku tidak pernah tahu apakah itu Ayah?
Aku tidak pernah tahu bagaimana wajah Ayahku?
Aku tidak pernah tahu siapa Ayahku?
Aku ingin sekali bertemu Ayah
Aku ingin sekali melihat wajah Ayah
Aku ingin sekali merasakan kasih sayang dari Ayah

Memang rangkaian puisi diatas hanya puisi yang dibuat seorang anak kecil yang masih duduk di sekolah dasar tetapi tahukah betapa dalamnya makna puisi yang sangat sederhana itu. Sejenak aku terdiam ingin kutahan air mata yang sejak awal mulai bergemuruh ingin sekali menetes. Tapi untuk yang satu ini aku sudah tidak bisa membendung air mata yang pelan-pelan membasahi wajahku. Aku teringat almarhum Ayahku yang sudah tiada 9 tahun yang lalu dan kini sudah tenang di sisi Allah SWT. Tiap mendengar 4 huruf itu “AYAH” di fikiranku selalu berkecamuk merindukan kembali sosok yang dulu sangat dekat denganku, sosok yang dulu sering memarahiku karena kenakalanku, yang selalu membelaku didepan Ibu meskipun aku sadar aku yang salah, yang selalu menuruti keinginan “kanak-kanakku” yang harus dituruti, yang setia bersamaku untuk membuat tersenyum, yang ikhlas bila orang lain menganggap aku adalah cucunya. Yah..... memang aku anak bungsu dari lima bersaudara dan Ayahku memang mendambakan sekali mempunyai anak laki-laki hingga lahirlah aku yang jarak usianya jauh sekali dengan kakak-kakak tertuaku yang semuanya perempuan. Aku sadar mungkin saat itu Ayah terlalu tua dengan rambutnya yang penuh dengan uban untuk mempunyai anak seusiaku saat masih menginjak kelas satu sekolah dasar. Sehingga banyak orang awam yang tidak mengerti mengira Ayahku adalah kakekku. Saat itu aku tidak marah aku hanya terdiam melihat jawaban apa yang akan dilontarkan Ayahku kepada siapa saja yang menganggapku seperti cucunya. Jika mengingat itu jujur aku ingin menangis aku tahu saat itu Ayah pasti sedikit tersinggung tapi Ayah tetap tegar dan santai menjawab sambil tersenyum kalau aku ini anaknya yang bungsu sehingga banyak dari orang itu yang langsung meminta maaf. Kini sudah tidak ada lagi sosok yang seharusnya sangat aku butuhkan saat ini, saat usiaku mulai beranjak dewasa dan banyak sekali hal-hal dilingkunganku yang bisa saja merubah jati diriku. Tapi aku sadar Tuhan mempunyai rencana lain untukku, Tuhan ingin menguji seberapa besar keimanan dan ketakwaanku kepadaNya menghadapi kenyataan hidup ini. Beruntung sekali aku mempunyai keluarga yang sangat bersahaja, Ibu yang luar biasa, kakak-kakak perempuanku yang sangat sayang, saudara dan teman-temanku yang sangat mencintaiku serta orang-orang disekitarku yang memahamiku. Aku merasa beruntung memiliki mereka, mereka adalah lentera hidupku andaikan tidak ada mereka semua, pasti yang kurasakan hanyalah sepi dan sendiri menjalani hidup ini.
Dan yang paling utama adalah Allah SWT yang menuntunku untuk terus istiqomah berada dijalanNya alhamdulillah aku sangat bersyukur atas nikmat dan karunia yang diberikanNya. Seharusnya anak laki-laki akan mendewasa didampingi oleh Ayahnya , tapi aku sadar aku tidak bisa seperti itu aku sadar aku hanya memiliki Ibu dan Ibu juga tidak tahu bagaimana yang dipikirkan anak laki-laki ketika mulai beranjak dewasa. Karena Ibu adalah perempuan ia pasti mengerti ketika kakakku mulai beranjak dewasa karena semuanya sama perempuan. Aku mendewasa karena aku belajar melihat dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Aku berusaha tegar dan belajar dari orang-orang disekitarku terutama meraka yang usianya jauh lebih tua dari usiaku. Hingga kini aku beranjak mencapai usia 21 tahun aku masih belajar menata kedewasaanku yang tidak pernah diajarkan oleh Ayahku, yang aku pelajari sendiri dari bahasa alam disekitarku. Aku rindu sosok Ayah Ingin sekali berbicara dengan Ayah berbincang hangat antara anak dan Ayah , perbincangan antara sesama laki-laki dewasa dan aku ingin belajar dari pengalaman Ayah. Tapi sekali lagi aku tahu itu hanya fatamorgana aku tidak bisa berbincang dengan Ayah kecuali lewat doa-doa yang pasti akan terus aku panjatkan untuk beliau disana. Aku tahu aku sudah tidak punya Ayah lagi di dunia ini tapi Ayah tetap selalu dihatiku menjagaku dan menguatkanku hingga saat ini. Thanks for your love.... I love you Dad, I always miss you.

Ayah dalam hening sepi kurindu
Untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban
(Ebiet G. Ade – Titip Rindu Untuk Ayah)

Tulisan ini aku buat bukan untuk mengambil simpati orang lain, ini sengaja kubuat untuk mengobati kerinduanku kepada Ayah dan kupersembahkan sebagai rasa baktiku untuk Ayahanda tercinta alm. Moh. Idris ....

Kota kelahiranku 21 tahun silam
Pasuruan, 25 November 2012
Muhammad Arif Taufiq
Artikel Terkait

Artikel ini ditulis oleh : Unknown ~ Blogger Pasuruan

Muhammad Arif Taufiq Terimakasih sahabat telah membaca : Tulisan untuk Ayah. Anda bisa menyebarluaskan artikel ini, Asalkan meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya

:: Get this widget ! ::

Tidak ada komentar:

Posting Komentar