”Ketika kita hanya sibuk menghitung-hitung
berapa besar keuntungan dari apa yang kita berikan pada orang lain, maka
hanya sebesar itu sajalah yang kita dapatkan. Namun Jika kita memberi,
menolong, berbuat baik tanpa berhitung-hitung, maka percayalah Allah
telah siapkan rizki bagi kita, rizki yang luasnya seluas langit dan bumi
ya”
Salam165
Ary Ginanjar Agustian
(。◕‿◕。)
Anak sulung saya Anjar, yang IPnya pas-pasan itu pergi mengikuti
sebuah pelatihan remaja di Negeri Paman Sam bersama teman-teman
kuliahnya beberapa bulan lalu. Saya memberinya bekal sebesar 500 US
Dollar untuk berbagai keperluannya selama di sana dan 500 US Dollar lagi
untuk cadangan apabila ada biaya tak terduga. Saya wanti-wanti agar dia
kembalikan uang cadangan itu apabila tidak terpakai.
Ketika dia pulang, saya sengaja tidak menanyakan tentang bagaimana
sulung saya ini menggunakan uangnya. Saya sempat berpikir bahwa ia
menggunakan semua uang yang saya berikan untuk keperluannya karena tidak
ada yang mengawasi. Namun beberapa hari kemudian ia menyerahkan kembali
uang 500 Dollar-nya sambil berkata, “Pak, ini uangnya Anjar kembalikan
karena selama di sana tidak ada keperluan di luar rencana yang urgen. ”
Wah, padahal bisa saja dia pergunakan semua uang bekalnya dengan
berbagai alasan logis yang pasti saya tidak akan mampu menolak. Atau
habiskan saja anggaran tersebut toh memang sudah menjadi jatah dia.
Dengan alasan bahwa banyak kebutuhan yang urgen dan ada keperluan yang
tidak terduga selama di Amerika.
Anjar telah mempergunakan kecerdasan spiritualnya. Apabila dia hanya
mempergunakan kecerdasan intelektualnya semata pasti dia akan sangat
mampu membuat laporan keuangan yang “WTP” alias wajar tanpa
pengecualian. Apalagi dia kuliah di jurusan Administrasi Niaga
Universitas Indonesia, lalu ditambah dengan kecerdasan emosionalnya
untuk melobby. Tentu sangat mudah baginya untuk memperdayai saya, karena
semua sesuai aturan, semua sesuai prosedur, semua sesuai sistem, dan
bisa diterima akal sehat.
Lalu saya mencoba membayangkan lagi berapa puluh atau berapa ratus
trilyun atau mungkin berapa ribu trilyun harga atau nilai “spiritual
capital” atau nilai sebuah microchip ciptaan Tuhan itu apabila
dikonversikan dengan akibat kebocoran dan kesengsaraan di sana-sini.
Belum lagi keputusan-keputusan yang dibuat demi kepentingan diri dan
kelompok, seperti halnya proyek-proyek, aturan pertambangan dan
perdagangan yang membuat asset bangsa tersedot keluar dengan kekuatan
arus raksasa. Atau berapa banyak potensi yang menjadi sia-sia akibat
kemiskinan spiritual bangsa ini, sehingga melahirkan sebuah iklim saling
curiga dan saling tidak percaya yang dinamakan “low trust society”.
Modal kejujuran pun sesungguhnya ada tiga jenis. Pertama, kejujuran
intelektual, yaitu jujur karena otak dan skill, contoh seseorang ahli
memberikan laporan keuangan dengan benar sehingga masuk kategori wajar
tanpa pengecualian (WTP). Kedua, kejujuran emosional yaitu seseorang
yang jujur didorong oleh motivasi ingin dilihat oleh atasan, atau karena
motivasi ingin penghargaan dan pengakuan publik.
Ketiga, kejujuran spiritual. Yaitu sebuah kejujuran asli yang lahir
bukan dilahirkan karena sistem pengawasan atau GCG, atau karena laporan
keuangan yang WTP. Karena kejujuran ini berada dalam dimensi spiritual,
yang melahirkan nilai kejujuran hakiki dan muncul menjadi perilaku.
Kejujuran ini lahir dari sisi terdalam pada belief system manusia pada
dimensi spiritualitas.
Inilah yang dinamakan modal spiritual atau Spiritual Capital, yaitu
sebuah modal penting yang harus dipertimbangkan sebagai salah satu
kekuatan di dalam membangun sebuah korporasi, birokrasi, ekonomi, dan
kehidupan negara yang sehat dan damai.
Dr. H. C Ary Ginanjar Agustian
Tayang di :
Indopos & www.esq-news.com
Indopos & www.esq-news.com
(。◕‿◕。)
“The real role of the leader is to manage the values of the
corporation.” (Tom Peters, “In Search of Excellence: Lessons from
America’s best run companies”, 1983)
Belakangan ini wacana mengenai pentingnya budaya perusahaan makin
mengemuka. Banyak perusahaan yang melakukan upaya-upaya untuk membenahi
budaya perusahaannya dari mulai mengirim staf Sumber Daya Manusia (HR)
ke training-training tertentu, merombak visi-misi perusahaan, memasang
poster-poster yang berisi value perusahaan, dan lain-lain.
Meski berbagai hal di atas telah dilakukan, namun ternyata masih
banyak perusahaan yang seolah jalan di tempat. Kinerja perusahaan tetap
tidak terdongkrak. Apa faktor penyebabnya? Dave Ulrich konsultan HR
(Human Resource) mengatakan bahwa peran pemimpin sangat besar terhadap
keberhasilan perusahaan mencapai 40%, sedangkan yang lainnya yaitu nilai
berperan 25% sedangkan sistem 35%.
Ketiga hal di atas, kami namakan VSL Concept: yaitu membangun
sistem yang didahului dengan pembangunan nilai atau value, dan
dilanjutkan dengan membangun system dan dilengkapi dengan pembangunan
leadership. Artinya tidak cukup merumuskan atau mempropagandakan value
serta membangun system tanpa diiringi dengan role model dari para
pimpinan perusahaan (leadership). Menjadikan para pimpinan contoh dari
implementasi misi, visi dan nilai sehingga menunjukkan bahwa misi, visi
dan nilai itu adalah sesuatu yang penting dan harus dipegang teguh
dalam menjalankan roda perusahaan.
Jika perusahaan belum memiliki nilai dan budaya, seluruh pimpinan
harus berperan sebagai value builder yaitu membangun nilai-nilai
perusahaan. Tony Hsieh, CEO Zappos, adalah contoh pemimpin perusahaan
sebagai value builder. Dia benar-benar terlibat dalam perumusan dan
membangun budaya perusahaan. Selanjutnya Tony Hsieh juga sangat berusaha
agar nilai-nilai perusahaan tetap terjaga.
Menurutnya melindungi budaya perusahaan dan tetap menjalankan core
values akan memberikan keuntungan jangka panjang. Karena itu, demi
kepentingan jangka panjang tersebut Zappos bersedia melaukan pengorbanan
jangka pendek —termasuk kehilangan profit— karena mereka percaya
membangun budaya dan menjaga nilai perusahaan dapat mendatangkan
keuntungan jangka panjang.
Selanjutnya secara pribadi para pemimpin menjalankan nilai tersebut
serta menanamkan nilai-nilai tersebut kepada seluruh karyawan.
Penegakan nilai harus dijaga para pemimpin baik dalam diri mereka
maupun karyawan agar nilai tersebut hidup dan berkembang seiring dengan
pertumbuhan perusahaan. Diharapkan corporate values selalu hidup
bersama perusahaan bahkan sampai puluhan tahun ke depan bahkan jika
bisa sampai ratusan tahun.
Pemimpin dan Entropi Budaya
Penelitian menunjukkan adanya korelasi yang jelas antara pemimpin
dengan entropi budaya organisasi. Sebagaimana sudah dijelaskan pada
artikel terdahulu bahwa Entropi Budaya adalah mengukur energi yang
terbuang percuma di tempat kerja.
Entropi budaya organisasi, korporasi atau instansi sesungguhnya
adalah refleksi langsung dari entropi pribadi sang pemimpin itu sendiri.
Cara untuk mengurangi warisan entropis pemimpin masa lalu adalah dengan
melakukan: de-layering, re-strukturisasi, dan de-birokratisasi dan
transformasi budaya.
Keterlibatan pemimpin jelas menjadi faktor kunci kesuksesan
perusahaan, khususnya untuk menghidupkan nilai tersebut secara mendalam
dan holistik. Jika tidak dimulai dan ditegakkan para pemimpinnya,
nilai-nilai perusahaan tidak akan tercipta menjadi sebuah budaya
perusahaan. Karena itulah sering dikatakan bahwa “Leaders must be able
to make the values alive”.
Karena itulah wacana transformasi budaya tidak akan terealisasi tanpa
keterlibatan para pemimpinya. Berbagai upaya seperti training, jasa
konsultan, pemasangan poster tentang visi-misi-nilai perusahaan di
berbagai sudut kantor tidak akan berhasil baik jika pemimpin tidak
terlibat sebagai motor penggerak. Karena itu Prof. Richard Barrett
mengatakan, “Organisasi tidak bertransformasi hingga para pemimpinnya
memiliki nilai yang baru dan mengubah perilaku mereka.”•
ACT Consulting
Jl. Ciputat Raya No. 1B Pondok Pinang, Jakarta 12310
Telp. (021) 7696654 Fax. (021) 7696645
Email: act.consulting@esqway165.com
Jl. Ciputat Raya No. 1B Pondok Pinang, Jakarta 12310
Telp. (021) 7696654 Fax. (021) 7696645
Email: act.consulting@esqway165.com
Sumber: http://esq-news.com/2012/berita/03/19/peran-pemimpin-dalam-transformasi-budaya.html
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar