Senin, 10 September 2012

Motivasi Ary Ginanjar Agustian


 
”Ketika kita hanya sibuk menghitung-hitung berapa besar keuntungan dari apa yang kita berikan pada orang lain, maka hanya sebesar itu sajalah yang kita dapatkan. Namun Jika kita memberi, menolong, berbuat baik tanpa berhitung-hitung, maka percayalah Allah telah siapkan rizki bagi kita, rizki yang luasnya seluas langit dan bumi ya”
Salam165
Ary Ginanjar Agustian

(。◕‿◕。)

Anak sulung saya Anjar, yang IPnya pas-pasan itu pergi mengikuti sebuah pelatihan remaja di Negeri Paman Sam bersama teman-teman kuliahnya beberapa bulan lalu. Saya memberinya bekal sebesar 500 US Dollar untuk berbagai keperluannya selama di sana dan 500 US Dollar lagi untuk cadangan apabila ada biaya tak terduga. Saya wanti-wanti agar dia kembalikan uang cadangan itu apabila tidak terpakai.
Ketika dia pulang, saya sengaja tidak menanyakan tentang bagaimana sulung saya ini menggunakan uangnya. Saya sempat berpikir bahwa ia menggunakan semua uang yang saya berikan untuk keperluannya karena tidak ada yang mengawasi. Namun beberapa hari kemudian ia menyerahkan kembali uang 500 Dollar-nya sambil berkata, “Pak, ini uangnya Anjar kembalikan karena selama di sana tidak ada keperluan di luar rencana yang urgen. ”
Wah, padahal bisa saja dia pergunakan semua uang bekalnya dengan berbagai alasan logis yang pasti saya tidak akan mampu menolak. Atau habiskan saja anggaran tersebut toh memang sudah menjadi jatah dia. Dengan alasan bahwa banyak kebutuhan yang urgen dan ada keperluan yang tidak terduga selama di Amerika.
Anjar telah mempergunakan kecerdasan spiritualnya. Apabila dia hanya mempergunakan kecerdasan intelektualnya semata pasti dia akan sangat mampu membuat laporan keuangan yang “WTP” alias wajar tanpa pengecualian. Apalagi dia kuliah di jurusan Administrasi Niaga Universitas Indonesia, lalu ditambah dengan kecerdasan emosionalnya untuk melobby. Tentu sangat mudah baginya untuk memperdayai saya, karena semua sesuai aturan, semua sesuai prosedur, semua sesuai sistem, dan bisa diterima akal sehat.


Lalu saya mencoba membayangkan lagi berapa puluh atau berapa ratus trilyun atau mungkin berapa ribu trilyun harga atau nilai “spiritual capital” atau nilai sebuah microchip ciptaan Tuhan itu apabila dikonversikan dengan akibat kebocoran dan kesengsaraan di sana-sini. Belum lagi keputusan-keputusan yang dibuat demi kepentingan diri dan kelompok, seperti halnya proyek-proyek, aturan pertambangan dan perdagangan yang membuat asset bangsa tersedot keluar dengan kekuatan arus raksasa. Atau berapa banyak potensi yang menjadi sia-sia akibat kemiskinan spiritual bangsa ini, sehingga melahirkan sebuah iklim saling curiga dan saling tidak percaya yang dinamakan “low trust society”.
Modal kejujuran pun sesungguhnya ada tiga jenis. Pertama, kejujuran intelektual, yaitu jujur karena otak dan skill, contoh seseorang ahli memberikan laporan keuangan dengan benar sehingga masuk kategori wajar tanpa pengecualian (WTP). Kedua, kejujuran emosional yaitu seseorang yang jujur didorong oleh motivasi ingin dilihat oleh atasan, atau karena motivasi ingin penghargaan dan pengakuan publik.
Ketiga, kejujuran spiritual. Yaitu sebuah kejujuran asli yang lahir bukan dilahirkan karena sistem pengawasan atau GCG, atau karena laporan keuangan yang WTP. Karena kejujuran ini berada dalam dimensi spiritual, yang melahirkan nilai kejujuran hakiki dan muncul menjadi perilaku. Kejujuran ini lahir dari sisi terdalam pada belief system manusia pada dimensi spiritualitas.
Inilah yang dinamakan modal spiritual atau Spiritual Capital, yaitu sebuah modal penting yang harus dipertimbangkan sebagai salah satu kekuatan di dalam membangun sebuah korporasi, birokrasi, ekonomi, dan kehidupan negara yang sehat dan damai.
Dr. H. C Ary Ginanjar Agustian
Tayang di :
Indopos & www.esq-news.com

(。◕‿◕。)

“The real role of the leader is to manage the values of the corporation.” (Tom Peters, “In Search of Excellence: Lessons from America’s best run companies”, 1983)
Belakangan ini wacana mengenai pen­tingnya budaya perusahaan makin mengemuka. Banyak perusahaan yang melakukan upaya-upaya untuk membenahi budaya perusahaannya dari mulai mengirim staf Sumber Daya Manusia (HR) ke training-training tertentu, merombak visi-misi perusahaan, memasang poster-poster yang berisi value perusahaan, dan lain-lain.
Meski berbagai hal di atas telah dilakukan, namun ter­nyata masih banyak perusahaan yang seolah jalan di tempat. Kinerja perusahaan tetap tidak terdongkrak. Apa faktor pe­nyebabnya? Dave Ulrich konsultan HR (Human Resource) mengatakan bahwa peran pe­mimpin sangat besar terhadap keberhasilan perusahaan mencapai 40%, sedangkan yang lainnya yaitu nilai berperan 25% sedangkan sistem 35%.
Ketiga hal di atas, kami namakan VSL Concept: yaitu mem­bangun sistem yang di­dahului dengan pemba­ngun­an nilai atau value, dan dilanjutkan de­ngan membangun sys­tem dan dilengkapi dengan pembangunan leadership. Arti­nya tidak cukup merumus­kan atau mempropagandakan value ser­ta membangun system tanpa diiringi dengan role model dari para pimpinan perusahaan (leadership). Menjadikan pa­ra pimpinan contoh dari imple­mentasi misi, visi dan nilai sehingga menunjukkan bahwa misi, visi dan nilai itu adalah sesuatu yang penting dan harus dipegang teguh dalam menjalankan roda perusahaan.
Jika perusahaan belum memiliki nilai dan budaya, seluruh pimpinan harus berperan sebagai value builder yaitu membangun nilai-nilai perusahaan. Tony Hsieh, CEO Zappos, adalah contoh pemimpin perusahaan sebagai value builder. Dia benar-benar terlibat dalam perumusan dan membangun budaya perusahaan. Selanjutnya Tony Hsieh juga sangat berusaha agar nilai-nilai perusahaan tetap terjaga.
Menurutnya melindungi budaya perusahaan dan tetap menjalankan core values akan memberikan keuntungan jangka panjang. Karena itu, demi kepentingan jangka panjang tersebut Zappos bersedia melaukan pengorbanan jangka pendek —termasuk kehilang­an profit— karena mereka percaya membangun budaya dan menjaga nilai perusahaan dapat men­datangkan keuntungan jangka panjang.
Selanjutnya secara pri­­badi para pemimpin menjalankan nilai tersebut serta menanam­kan nilai-nilai tersebut kepa­da seluruh karyawan. Penegak­an nilai harus dijaga para pe­mimpin baik dalam diri me­reka maupun karyawan agar nilai tersebut hidup dan berkembang seiring dengan per­tumbuhan perusahaan. Di­­harapkan corporate values selalu hidup bersama perusaha­an bahkan sampai puluhan tahun ke depan bahkan jika bisa sampai ratusan tahun.
Pemimpin dan Entropi Budaya
Penelitian menunjukkan adanya korelasi yang jelas antara pemimpin dengan entropi budaya organisasi. Sebagaimana sudah dijelaskan pada artikel terdahulu bahwa Entropi Budaya adalah meng­ukur energi yang terbuang percuma di tempat kerja.
Entropi budaya organisasi, korporasi atau instansi se­sungguhnya adalah refleksi langsung dari entropi pribadi sang pemimpin itu sendiri. Cara untuk mengurangi warisan entropis pemimpin masa lalu adalah dengan melakukan: de-layering, re-strukturisasi, dan de-birokratisasi dan trans­formasi budaya.
Keterlibatan pemimpin je­las menjadi faktor kunci kesuk­sesan perusahaan, khususnya untuk menghidupkan nilai tersebut secara mendalam dan holistik. Jika tidak dimulai dan ditegakkan para pemimpinnya, nilai-nilai perusahaan tidak akan tercipta menjadi sebuah budaya perusahaan. Karena itulah sering dikatakan bahwa “Leaders must be able to make the values alive”.
Karena itulah wacana transformasi budaya tidak akan terealisasi tanpa keterlibatan para pemimpinya. Berbagai upaya seperti training, jasa konsultan, pemasangan poster tentang visi-misi-nilai perusahaan di berbagai sudut kantor tidak akan berhasil baik jika pemimpin tidak terlibat sebagai motor penggerak. Karena itu Prof. Richard Barrett mengatakan, “Organisasi tidak bertransformasi hingga para pemimpinnya memiliki nilai yang baru dan mengubah perilaku mereka.”•
ACT Consulting
Jl. Ciputat Raya No. 1B Pondok Pinang, Jakarta 12310
Telp. (021) 7696654 Fax. (021) 7696645
Email: act.consulting@esqway165.com
Sumber: http://esq-news.com/2012/berita/03/19/peran-pemimpin-dalam-transformasi-budaya.html


Artikel Terkait

Artikel ini ditulis oleh : Unknown ~ Blogger Pasuruan

Muhammad Arif Taufiq Terimakasih sahabat telah membaca : Motivasi Ary Ginanjar Agustian. Anda bisa menyebarluaskan artikel ini, Asalkan meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya

:: Get this widget ! ::

Tidak ada komentar:

Posting Komentar