Seiring dengan menipisnya
cadangan energi BBM, jagung menjadi alternatif
yang penting sebagai bahan baku pembuatan
ethanol (bahan pencampur BBM). Karenanya,
kebutuhan terhadap komoditas ini pada masa
mendatang diperkirakan mengalami peningkatan
yang signifikan. Bioetanol (C2H5OH) adalah
cairan biokimia dari proses fermentasi gula
dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan
mikroorganisme.
Gasoholº campuran bioetanol
kering/absolut terdena-turasi dan bensin pada
kadar alkohol s/d sekitar 22 %-volume.
Istilah bioetanol identik dengan bahan bakar murni. BEX º gasohol berkadar bioetanol X %-volume.
Istilah bioetanol identik dengan bahan bakar murni. BEX º gasohol berkadar bioetanol X %-volume.
Alkohol merupakan bahan kimia
yang diproduksi dari bahan baku tanaman yang
mengandung pati seperti ubi kayu, ubi jalar,
jagung, dan sagu biasanya disebut dengan bioethanol.
Ubi kayu, ubi jalar, dan jagung merupakan
tanaman pangan yang biasa ditanam rakyat hampir
di seluruh wilayah Indonesia, sehingga jenis
tanaman tersebut merupakan tanaman yang potensial
untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan
baku pembuatan bioethanol atau gasohol. Namun
dari semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu
merupakan tanaman yang setiap hektarnya paling
tinggi dapat memproduksi ethanol. Selain itu
pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan
baku proses produksi bio-ethanol juga didasarkan
pada pertimbangan ekonomi. Pertimbangan keekonomian
pengadaan bahan baku tersebut bukan saja meliputi
harga produksi tanaman sebagai bahan baku,
tetapi juga meliputi biaya pengelolaan tanaman,
biaya produksi pengadaan bahan baku, dan biaya
bahan baku untuk memproduksi setiap liter
ethanol/bio-ethanol. Secara umum ethanol/bio-ethanol
dapat digunakan sebagai bahan baku industri
turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan
dasar industri farmasi, campuran bahan bakar
untuk kendaraan. Mengingat pemanfaatan ethanol/bio-ethanol beraneka ragam, sehingga grade ethanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk ethanol/bio-ethanol yang mempunyai grade 90-96,5% vol dapat digunakan pada industri, sedangkan ethanol / bio ethanol yang mempunyai grade 96-99,5% vol dapat digunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Berlainan dengan besarnya grade ethanol/bio-
ethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan yang harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga ethanol/bio-ethanol harus mempunyai grade sebesar 99,5-100% vol. Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Mengacu dari penjelasan tersebut, disusunlah makalah yang berjudul “Teknologi Proses Produksi Bio-Ethanol”
untuk kendaraan. Mengingat pemanfaatan ethanol/bio-ethanol beraneka ragam, sehingga grade ethanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk ethanol/bio-ethanol yang mempunyai grade 90-96,5% vol dapat digunakan pada industri, sedangkan ethanol / bio ethanol yang mempunyai grade 96-99,5% vol dapat digunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Berlainan dengan besarnya grade ethanol/bio-
ethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan yang harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga ethanol/bio-ethanol harus mempunyai grade sebesar 99,5-100% vol. Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Mengacu dari penjelasan tersebut, disusunlah makalah yang berjudul “Teknologi Proses Produksi Bio-Ethanol”
PROSES
PRODUKSI BIO-ETHANOL
Secara umum, proses pengolahan bahan berpati seperti ubi kayu, jagung dan sagu untuk menghasilkan bio-etanol dilakukan dengan proses urutan. Pertama adalah proses hidrolisis, yakni proses konversi pati menjadi glukosa. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan a-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan a-(1,4)-D-glikosidik sedangkan amilopektin mempunyai struktur bercabang dengan ikatan a-(1,6)-D-glikosidik sebanyak 4-5% dari berat total. Prinsip dari hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa (C6H12O6). Pemutusan rantai polimer tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara kimiawi dan fisik dalam hal spesifitas pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutus rantai polimer secara acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutus rantai polimer secara spesifik pada percabangan tertentu.
Secara umum, proses pengolahan bahan berpati seperti ubi kayu, jagung dan sagu untuk menghasilkan bio-etanol dilakukan dengan proses urutan. Pertama adalah proses hidrolisis, yakni proses konversi pati menjadi glukosa. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan a-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan a-(1,4)-D-glikosidik sedangkan amilopektin mempunyai struktur bercabang dengan ikatan a-(1,6)-D-glikosidik sebanyak 4-5% dari berat total. Prinsip dari hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa (C6H12O6). Pemutusan rantai polimer tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara kimiawi dan fisik dalam hal spesifitas pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutus rantai polimer secara acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutus rantai polimer secara spesifik pada percabangan tertentu.
Produksi ethanol/bio-ethanol
(alkohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung
pati atau karbohydrat, dilakukan melalui proses
konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa)
larut air. Konversi bahan baku tanaman yang
mengandung pati atau karbohydrat dan tetes
menjadi bio-ethanol.
Konversi Bahan Baku
Tanaman Yang Mengandung Pati Atau Karbohidrat
Dan Tetes Menjadi Bio-Ethanol
Bahan
Baku
|
Kandungan
Gula
Dalam Bahan Baku |
Jumlah
Hasil
Konvers |
Perbandingan
Bahan Baku dan Bioetanol |
|
Jenis
|
Konsumsi
(Kg)
|
(Kg)
|
Bio-etanol
(Liter)
|
|
Ubi Kayu Ubi Jalar Jagung Sagu Tetes |
1000 1000 1000 1000 1000 |
250-300 150-200 600-700 120-160 500 |
166.6 125 200 90 250 |
6,5:1 8:1 5:1 12:1 4:1 |
Sumber
Karbohidrat
|
Hasil
Panen Ton/ha/th
|
Perolehan
Alkohol
|
|
Liter/ton
|
Liter/ha/th
|
||
Singkong Tetes Sorgum Bici Ubi Jalar Sagu Tebu Nipah Sorgum Manis |
25 (236) 3,6 6 62,5* 6,8$ 75 27 80** |
180 (155) 270 333,4 125 608 67 93 75 |
4500 (3658) 973 2000 7812 4133 5025 2500 6000 |
NB : *)= Panen 2 ½
kali/th; $ = sagu kering; **= panen
2 kali/th. Sumber: Villanueva (1981); kecuali sagu, dari Colmes dan Newcombe (1980); sorgum manis, dari Raveendram ; dan Deptan (2006) untuk singkong; tetes dan sorgum biji (tulisan baru) |
hydrolisa enzyme lebih banyak dikembangkan, sedangkan hydrolisa asam (misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat berkembang, sehingga proses pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini dipergunakan dengan hydrolisa
enzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air dilakukan dengan penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau
ragi. Reaksi yang terjadi pada proses produksi ethanol/bio-ethanol secara sederhana ditujukkan pada reaksi 1 dan 2.
Selain ethanol/bio-ethanol
dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang
mengandung pati atau karbohydrat, juga dapat
diproduksi dari bahan tanaman yang mengandung
selulosa, namun dengan adanya lignin mengakibatkan
proses
penggulaannya menjadi lebih sulit, sehingga pembuatan ethanol/bio-ethanol dari selulosa tidak perlu direkomendasikan. Meskipun teknik produksi ethanol/bioethanol merupakan teknik yang sudah lama diketahui, namun ethanol/bio-ethanol
untuk bahan bakar kendaraan memerlukan ethanol dengan karakteristik tertentu yang memerlukan teknologi yang relatif baru di Indonesia antara lain mengenai neraca energi (energy balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih
lanjut mengenai teknologi proses produksi ethanol masih perlu dilakukan. Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bio-ethanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu gelatinasi, sakharifikasi, dan fermentasi.
penggulaannya menjadi lebih sulit, sehingga pembuatan ethanol/bio-ethanol dari selulosa tidak perlu direkomendasikan. Meskipun teknik produksi ethanol/bioethanol merupakan teknik yang sudah lama diketahui, namun ethanol/bio-ethanol
untuk bahan bakar kendaraan memerlukan ethanol dengan karakteristik tertentu yang memerlukan teknologi yang relatif baru di Indonesia antara lain mengenai neraca energi (energy balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih
lanjut mengenai teknologi proses produksi ethanol masih perlu dilakukan. Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bio-ethanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu gelatinasi, sakharifikasi, dan fermentasi.
PROSES
GELATINASI
Dalam proses gelatinasi, bahan baku ubi kayu, ubi jalar, atau jagung dihancurkan dan dicampur air sehingga menjadi bubur, yang diperkirakan mengandung pati 27-30 persen. Kemudian bubur pati tersebut dimasak atau dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel. Proses gelatinasi tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
• Bubur pati dipanaskan sampai 130o C selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai mencapai temperature 95o C yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar ¼ jam. Temperatur 95o C tersebut dipertahankan selama sekitar 1 ¼ jam, sehingga total waktu yang dibutuhkan mencapai 2 jam.
• Bubur pati ditambah enzyme termamyl dipanaskan langsung sampai mencapai temperatur 130o C selama 2 jam.
Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan bertahap mempunyai keuntungan, yaitu pada suhu 95o C aktifitas termamyl merupakan yang paling tinggi, sehingga mengakibatkan yeast atau ragi cepat aktif. Pemanasan dengan suhu tinggi (130o C) pada cara pertama ini dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak dengan air enzyme. Perlakuan pada suhu tinggi tersebut juga dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan, sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi.
Dalam proses gelatinasi, bahan baku ubi kayu, ubi jalar, atau jagung dihancurkan dan dicampur air sehingga menjadi bubur, yang diperkirakan mengandung pati 27-30 persen. Kemudian bubur pati tersebut dimasak atau dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel. Proses gelatinasi tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
• Bubur pati dipanaskan sampai 130o C selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai mencapai temperature 95o C yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar ¼ jam. Temperatur 95o C tersebut dipertahankan selama sekitar 1 ¼ jam, sehingga total waktu yang dibutuhkan mencapai 2 jam.
• Bubur pati ditambah enzyme termamyl dipanaskan langsung sampai mencapai temperatur 130o C selama 2 jam.
Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan bertahap mempunyai keuntungan, yaitu pada suhu 95o C aktifitas termamyl merupakan yang paling tinggi, sehingga mengakibatkan yeast atau ragi cepat aktif. Pemanasan dengan suhu tinggi (130o C) pada cara pertama ini dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak dengan air enzyme. Perlakuan pada suhu tinggi tersebut juga dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan, sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi.
Gelatinasi cara kedua, yaitu
cara pemanasan langsung ( gelatinasi dengan
enzyme termamyl ) pada temperature 130o C
menghasilkan hasil yang kurang baik, karena
mengurangi aktifitas yeast. Hal tersebut disebabkan
gelatinasi dengan enzyme pada suhu 130o C
akan terbentuk tri-phenyl-furane yang mempunyai
sifat racun terhadap yeast. Gelatinasi pada
suhu tinggi tersebut juga akan berpengaruh
terhadap penurunan aktifitas termamyl, karena
aktifitas termamyl akan semakin menurun setelah
melewati suhu 95o C. Selain itu, tingginya
temperature tersebut juga akan mengakibatkan
half life dari termamyl semakin pendek, sebagai
contoh pada temperature 93o C, half life dari
termamyl adalah 1500 menit, sedangkan pada
temperature 107o C, half life termamyl tersebut
adalah 40 menit (Wasito, 1981).
Hasil gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai mencapai 55o C, kemudian ditambah SAN untuk proses sakharifikasi dan selanjutnya difermentasikan dengan menggunakan yeast (ragi) Saccharomyzes ceraviseze.
Urea dan NPK berfungsi sebagai nutrisi ragi. Kebutuhan hara tersebut adalah sebagai berikut:
a. Urea sebanyak 0.5% dari kadar gula dalam larutan fermentasi.
b. NPK sebanyak 0.1% dari kadar gula dalam larutan fermentasi.
Untuk contoh di atas, kebutuhan urea adalah sebanyak 70 gr dan NPK sebanyak 14 gr. Gerus urea dan NPK ini sampai halus, kemudian ditambahkan ke dalam larutan molasses dan diaduk.
Hasil gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai mencapai 55o C, kemudian ditambah SAN untuk proses sakharifikasi dan selanjutnya difermentasikan dengan menggunakan yeast (ragi) Saccharomyzes ceraviseze.
Urea dan NPK berfungsi sebagai nutrisi ragi. Kebutuhan hara tersebut adalah sebagai berikut:
a. Urea sebanyak 0.5% dari kadar gula dalam larutan fermentasi.
b. NPK sebanyak 0.1% dari kadar gula dalam larutan fermentasi.
Untuk contoh di atas, kebutuhan urea adalah sebanyak 70 gr dan NPK sebanyak 14 gr. Gerus urea dan NPK ini sampai halus, kemudian ditambahkan ke dalam larutan molasses dan diaduk.
Bahan aktif ragi roti adalah
khamir Saccharomyces cereviseae yang dapat
memfermentasi gula menjadi etanol. Ragi roti
mudah dibeli di toko-toko bahan-bahan kue
atau di supermarket. Sebaiknya tidak menggunakan
ragi tape, karena ragi tape terdiri dari beberapa
mikroba. Kebutuhan ragi roti adalah sebanyak
0.2% dari kadar gula dalam larutan molasses.
Untuk contoh di atas kebutuhan raginya adalah
sebanyak 28 gr.
Ragi roti diberi air hangat-hangat kuku secukupnya. Kemudian diaduk-aduk perlahan hingga tempak sedikit berbusa. Setelah itu baru dimasukkan ke dalam fermentor. Fermentor ditutup rapat.
Ragi roti diberi air hangat-hangat kuku secukupnya. Kemudian diaduk-aduk perlahan hingga tempak sedikit berbusa. Setelah itu baru dimasukkan ke dalam fermentor. Fermentor ditutup rapat.
Enzim yang digunakan adalah
alfa-amilase pada tahap likuifikasi, sedangkan
tahap sakarifikasi digunakan enzim glukoamilase.
Berdasarkan penelitian, penggunaan a-amilase
pada tahap likuifikasi menghasilkan DE tertinggi
yaitu 50.83 pada konsentrasi a-amilase 1.75
U/g pati dan waktu likuifikasi 210 menit,
dan glukoamilase pada tahap sakarifikasi menghasilkan
DE tertinggi yaitu 98.99 pada konsentrasi
enzim 0.3 U/g pati dengan waktu sakarifikasi
48 jam.
PROSES
FERMENTASI
Tahap kedua adalah proses fermentasi untuk mengkonversi glukosa (gula) menjadi etanol dan CO2. Fermentasi etanol adalah perubahan 1 mol gula menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2. Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama akan
memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas, sedangkan asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang kemudian mengalami
dehidrogenasi menjadi etanol (Amerine et al., 1987).
Khamir yang sering digunakan dalam fermentasi alkohol adalah Saccharomyces cerevisiae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32o C.
Setelah proses fermentasi selesai, dilakukan destilasi untuk memisahkan etanol. Distilasi merupakan pemisahan komponen berdasarkan titik didihnya. Titik didih etanol murni adalah 78o C sedangkan air adalah 100o C (Kondisi standar).
Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 – 100o C akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.
Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan menggunakan yeast. Alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi ini, biasanya alkohol dengan kadar 8 sampai 10 persen volume. Sementara itu, bila fermentasi tersebut digunakan bahan baku gula (molases), proses pembuatan ethanol dapat lebih cepat. Pembuatan ethanol dari molases tersebut juga mempunyai keuntungan lain, yaitu memerlukan bak fermentasi yang lebih kecil. Ethanol yang dihasilkan proses fermentasi tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya dengan membersihkannya dari zat-zat yang tidak diperlukan.
Tahap kedua adalah proses fermentasi untuk mengkonversi glukosa (gula) menjadi etanol dan CO2. Fermentasi etanol adalah perubahan 1 mol gula menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2. Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama akan
memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas, sedangkan asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang kemudian mengalami
dehidrogenasi menjadi etanol (Amerine et al., 1987).
Khamir yang sering digunakan dalam fermentasi alkohol adalah Saccharomyces cerevisiae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32o C.
Setelah proses fermentasi selesai, dilakukan destilasi untuk memisahkan etanol. Distilasi merupakan pemisahan komponen berdasarkan titik didihnya. Titik didih etanol murni adalah 78o C sedangkan air adalah 100o C (Kondisi standar).
Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 – 100o C akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.
Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan menggunakan yeast. Alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi ini, biasanya alkohol dengan kadar 8 sampai 10 persen volume. Sementara itu, bila fermentasi tersebut digunakan bahan baku gula (molases), proses pembuatan ethanol dapat lebih cepat. Pembuatan ethanol dari molases tersebut juga mempunyai keuntungan lain, yaitu memerlukan bak fermentasi yang lebih kecil. Ethanol yang dihasilkan proses fermentasi tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya dengan membersihkannya dari zat-zat yang tidak diperlukan.
Alkohol yang dihasilkan dari
proses fermentasi biasanya masih mengandung
gas - gas antara lain CO2 (yang ditimbulkan
dari pengubahan glucose menjadi ethano l/
bio-ethanol) dan aldehyde yang perlu dibersihkan.
Gas CO2 pada hasil fermentasi tersebut biasanya
mencapai 35 persen volume, sehingga untuk
memperoleh ethanol/bio-ethanol yang berkualitas
baik, ethanol/bio-ethanol tersebut harus dibersihkan
dari gas tersebut. Proses pembersihan (washing)
CO2
dilakukan dengan menyaring ethanol/bio-ethanol yang terikat oleh CO2, sehingga dapat diperoleh ethanol/bio-ethanol yang bersih dari gas CO2). Kadar ethanol/bio-ethanol yang dihasilkan dari proses fermentasi, biasanya hanya mencapai 8 sampai 10 persen saja, sehingga untuk memperoleh ethanol yang berkadar alkohol 95 persen diperlukan proses lainnya, yaitu proses distilasi. Proses distilasi dilaksanakan melalui dua tingkat, yaitu tingkat pertama dengan beer column dan tingkat kedua dengan rectifying column. Definisi kadar alkohol atau ethanol/bio-ethanol dalam % (persen) volume adalah
“volume ethanol pada temperatur 15o C yang terkandung dalam 100 satuan volume larutan ethanol pada temperatur tertentu (pengukuran).“ Berdasarkan BKS Alkohol Spiritus, standar temperatur pengukuran adalah 27,5o C dan
kadarnya 95,5% pada temperatur 27,5 o C atau 96,2% pada temperatur 15o C (Wasito, 1981).
Pada umumnya hasil fermentasi adalah bio-ethanol atau alkohol yang mempunyai kemurnian sekitar 30 – 40% dan belum dpat dikategorikan sebagai fuel based ethanol. Agar dapat mencapai kemurnian diatas 95% , maka lakohol hasil fermentasi harus melalui proses destilasi.
dilakukan dengan menyaring ethanol/bio-ethanol yang terikat oleh CO2, sehingga dapat diperoleh ethanol/bio-ethanol yang bersih dari gas CO2). Kadar ethanol/bio-ethanol yang dihasilkan dari proses fermentasi, biasanya hanya mencapai 8 sampai 10 persen saja, sehingga untuk memperoleh ethanol yang berkadar alkohol 95 persen diperlukan proses lainnya, yaitu proses distilasi. Proses distilasi dilaksanakan melalui dua tingkat, yaitu tingkat pertama dengan beer column dan tingkat kedua dengan rectifying column. Definisi kadar alkohol atau ethanol/bio-ethanol dalam % (persen) volume adalah
“volume ethanol pada temperatur 15o C yang terkandung dalam 100 satuan volume larutan ethanol pada temperatur tertentu (pengukuran).“ Berdasarkan BKS Alkohol Spiritus, standar temperatur pengukuran adalah 27,5o C dan
kadarnya 95,5% pada temperatur 27,5 o C atau 96,2% pada temperatur 15o C (Wasito, 1981).
Pada umumnya hasil fermentasi adalah bio-ethanol atau alkohol yang mempunyai kemurnian sekitar 30 – 40% dan belum dpat dikategorikan sebagai fuel based ethanol. Agar dapat mencapai kemurnian diatas 95% , maka lakohol hasil fermentasi harus melalui proses destilasi.
PROSES
DISTILASI ( PENYULINGAN ):
Terdapat dua tipe proses
destilasi yang banyak diaplikasikan, yaitu
continuous-feed distillation column system
dan pot-type distillation system. Selain tipe
tersebut, dikenal juga tipe destilasi vakum
yang menggunakan tekanan rendah
dan suhu yang lebih rendah untuk menghasilkan konsentrasi alkohol yang lebih tinggi. Tekanan yang digunakan untuk destilasi adalah 42 mmHg atau 0.88 psi. Dengan tekanan tersebut, suhu yang digunakan pada bagian bawah kolom adalah 35o C dan 20o C di bagian atas. Proses produksi FGE dari bahan berpati disajikan pada Gambar 49, sedangkan Gambar dibawah ini menunjukkan proses produksi FGE dari ubi kayu.
dan suhu yang lebih rendah untuk menghasilkan konsentrasi alkohol yang lebih tinggi. Tekanan yang digunakan untuk destilasi adalah 42 mmHg atau 0.88 psi. Dengan tekanan tersebut, suhu yang digunakan pada bagian bawah kolom adalah 35o C dan 20o C di bagian atas. Proses produksi FGE dari bahan berpati disajikan pada Gambar 49, sedangkan Gambar dibawah ini menunjukkan proses produksi FGE dari ubi kayu.
Sebagaimana disebutkan diatas,
untuk memurnikan bioetanol menjadi berkadar
lebih dari 95% agar dapat dipergunakan sebagai
bahan bakar, alkohol hasil fermentasi yang
mempunyai kemurnian sekitar 40% tadi harus
melewati proses destilasi untuk memisahkan
alkohol dengan air dengan memperhitungkan
perbedaan titik didih kedua bahan tersebut
yang kemudian diembunkan kembali.
Untuk memperoleh bio-ethanol
dengan kemurnian lebih tinggi dari 99,5% atau
yang umum disebut fuel based ethanol, masalah
yang timbul adalah sulitnya memisahkan hidrogen
yang terikat dalam struktur kimia alkohol
dengan cara destilasi biasa, oleh karena itu
untuk mendapatkan fuel grade ethanol dilaksanakan
pemurnian lebih lanjut dengan cara Azeotropic
destilasi.
KENDALA
DAN UPAYA PENGEMBANGAN PRODUKSI BIO-ETHANOL
Produksi ethanol/bio-ethanol harus mempertimbangkan keekonomiannya dari dua sisi kepentingan, yaitu sisi produsen ethanol/bio-ethanol yang memerlukan bahan baku produksi tanaman dengan harga rendah, dan dari segi petani penghasil
bahan baku yang menginginkan produksi tanamannya dibeli dengan harga tinggi dan biaya produksi paling rendah. Hal tersebut disebabkan nilai produksi tanaman adalah sebagai biaya pengeluaran untuk pembelian bahan baku bagi produsen
ethanol/bio-ethanol. Oleh karena itu, keekonomian program pemanfaatan ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan bukan saja ditentukan oleh harga bahan bakar premium saja, tetapi ditentukan pula oleh harga bahan baku
pembuatan ethanol/bio-ethanol dalam hal ini produksi tanaman.
Produksi ethanol/bio-ethanol harus mempertimbangkan keekonomiannya dari dua sisi kepentingan, yaitu sisi produsen ethanol/bio-ethanol yang memerlukan bahan baku produksi tanaman dengan harga rendah, dan dari segi petani penghasil
bahan baku yang menginginkan produksi tanamannya dibeli dengan harga tinggi dan biaya produksi paling rendah. Hal tersebut disebabkan nilai produksi tanaman adalah sebagai biaya pengeluaran untuk pembelian bahan baku bagi produsen
ethanol/bio-ethanol. Oleh karena itu, keekonomian program pemanfaatan ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan bukan saja ditentukan oleh harga bahan bakar premium saja, tetapi ditentukan pula oleh harga bahan baku
pembuatan ethanol/bio-ethanol dalam hal ini produksi tanaman.
Kendala
Pengembangan Produksi Bio-Ethanol
Dalam memenuhi program pemanfaatan ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan, pemerintah telah membuat road map teknologi bio-ethanol, yaitu pada periode tahun 2005-2010 dapat memanfaatkan bio-ethanol sebesar 2% dari
konsumsi premium (0.43 juta kL), kemudian pada periode tahun 2011-2015, persentase pemanfaatan bio-ethanol ditingkatkan menjadi 3% dari konsumsi premium (1.0 juta kL), dan selanjutnya pada periode tahun 2016-2025, persentase pemanfaatan bio-ethanol ditingkatkan menjadi 5% dari konsumsi premium (2.8 juta kL). Namun untuk merealisasikan road map teknologi bio-ethanol harus melibatkan banyak pihak baik dari sisi Pemerintah maupun Swasta.
Mengingat sampai saat ini belum ada sinergi yang diwujudkan dalam satu dokumen rencana strategis yang komprehensif dan terpadu, sehingga akan timbul beberapa kendala yang harus diatasi. Beberapa kendala tersebut, meliputi:
• Rencana pengembangan lahan untuk tanaman penghasil bahan baku bio- ethanol yang dibuat oleh Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan belum terkait langsung dengan rencana pengembangan bio- ethanol di sektor energi;
• Rencana Pemerintah dalam pengembangan energi dan instrumen kebijakan yang diperlukan dalam pengembangan bio-ethanol belum terkait langsung dengan rencana dari para pihak pelaku bisnis bio-ethanol dan pengelola lahan pertanian yang sangat luas untuk menghasilkan bahan baku; dan
• Ketidakpastian resiko investasi dalam komersialisasi pengembangan bio- ethanol dan belum terbentuknya rantai tata niaga bio-ethanol.
Agar kendala tersebut dapat diatasi harus didukung adanya kebijakan Pemerintah mengenai pertanian dan kehutanan yang terkait dengan peruntukan lahan, kebijakan insentif bagi pengembangan bio-ethanol, tekno-ekonomi produksi dan
pemanfaatan bio-ethanol, sehingga ada kejelasan informasi bagi pengusaha yang tertarik dalam bisnis bio-ethanol.
Dalam memenuhi program pemanfaatan ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan, pemerintah telah membuat road map teknologi bio-ethanol, yaitu pada periode tahun 2005-2010 dapat memanfaatkan bio-ethanol sebesar 2% dari
konsumsi premium (0.43 juta kL), kemudian pada periode tahun 2011-2015, persentase pemanfaatan bio-ethanol ditingkatkan menjadi 3% dari konsumsi premium (1.0 juta kL), dan selanjutnya pada periode tahun 2016-2025, persentase pemanfaatan bio-ethanol ditingkatkan menjadi 5% dari konsumsi premium (2.8 juta kL). Namun untuk merealisasikan road map teknologi bio-ethanol harus melibatkan banyak pihak baik dari sisi Pemerintah maupun Swasta.
Mengingat sampai saat ini belum ada sinergi yang diwujudkan dalam satu dokumen rencana strategis yang komprehensif dan terpadu, sehingga akan timbul beberapa kendala yang harus diatasi. Beberapa kendala tersebut, meliputi:
• Rencana pengembangan lahan untuk tanaman penghasil bahan baku bio- ethanol yang dibuat oleh Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan belum terkait langsung dengan rencana pengembangan bio- ethanol di sektor energi;
• Rencana Pemerintah dalam pengembangan energi dan instrumen kebijakan yang diperlukan dalam pengembangan bio-ethanol belum terkait langsung dengan rencana dari para pihak pelaku bisnis bio-ethanol dan pengelola lahan pertanian yang sangat luas untuk menghasilkan bahan baku; dan
• Ketidakpastian resiko investasi dalam komersialisasi pengembangan bio- ethanol dan belum terbentuknya rantai tata niaga bio-ethanol.
Agar kendala tersebut dapat diatasi harus didukung adanya kebijakan Pemerintah mengenai pertanian dan kehutanan yang terkait dengan peruntukan lahan, kebijakan insentif bagi pengembangan bio-ethanol, tekno-ekonomi produksi dan
pemanfaatan bio-ethanol, sehingga ada kejelasan informasi bagi pengusaha yang tertarik dalam bisnis bio-ethanol.
Artikel Terkait
Artikel ini ditulis oleh : Unknown ~ Blogger Pasuruan
Terimakasih sahabat telah membaca : Bioetanol dari Jagung. Anda bisa menyebarluaskan artikel ini, Asalkan meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar